Qona'ah

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Kekayaan (yang haqiqi) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang haqiqi) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan adalah kekayaan hati”. Hati atau jiwa yang kaya adalah hati atau jiwa yang selalu merasa puas dengan apa yang Allah berikan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Merasa puas (qona’ah) adalah kunci kebahagiaan. Merasa puas (satisfied) juga merupakan hal yang dianjurkan oleh para motivator modern. Dari merasa puas inilah timbul rasa kesyukuran. Merasa puas membuat seseorang tidak serakah dan menimbulkan rasa ingin berbagi. Ia tidak menggenggam semua yang telah dia dapat. Karena semua yang telah dia dapat, ketika sebagian kecilnya telah ia ni’mati, dia pun merasa puas, jiwanya telah merasa kenyang. Sehingga sebagian besarnya akan sangat mudah dia berikan kepada mereka yang membutuhkan.

Sebaliknya, jiwa yang serakah, jiwa yang selalu lapar, jiwa yang selalu merasa kurang, walau ia telah mendapatkan satu gunung emas, ia akan terus merasa kurang. Dan ia akan mencari gunung emas kedua untuk digenggamnya sendiri. Merasa kurang membuatnya bakhil. Kondisi jiwa yang selalu merasa kurang menyebabkan jiwanya menjadi tidak tenang.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30)

Jiwa yang tenang dan merasa puas akan merasakan kebahagiaan, seakan surga telah direngkuhnya. Kebutuhan seorang yang berjiwa qona’ah hanyalah kebutuhan primer yang dibutuhkannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Kelebihan harta yang dimilikinya seakan tidak berarti baginya. Dia tak berambisi untuk menumpuk harta bagi kesenangan nafsunya.

Rasulullah sering menerima hadiah. Tapi semua hadiah itu habis dibagikan untuk kaum Muslimin yang membutuhkan. Pernah beliau mendapat sebakul emas. Maka habislah hadiah itu dibagi-bagikan. Pernah beliau mendapat sebakul kurma. Maka habislah kurma itu diberikan kepada faqir miskin. Nafsu beliau SAW adalah nafsul muthma-innah, nafsu yang tenang. Kondisi seperti inilah yang akan mengantarkan seseorang kepada surga dunia dan surga akhirat. Itulah sebabnya, kondisi seperti ini lebih berarti dari memiliki dunia seisinya.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.” [Hadits hasan, riwayat Imam At Tirmidzi (no 2346), Ibnu Majah (no 4141) dan Al Bukhari dalam Adabul Mufrad (no 300)]

Memiliki dunia seisinya dengan kondisi jiwa yang selalu merasa lapar hanya menyebabkan seseorang tidak pernah tenang. Dia disesatkan oleh nafsunya sendiri hingga menjadi tidak bahagia di dunia. Dan ketika di akhirat, karena dia berjiwa bakhil, tidak bersyukur, dan melanggar perintah Allah dalam hal harta, dia pun tidak mendapatkan kebahagiaan akhirat.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. [QS. Al-Lail: 5-10]

Merasa cukup dalam ayat di atas diterjemahkan dari “istaghnaa”, merasa kaya, merasa tidak membutuhkan Allah. Itulah bedanya merasa cukup (istaghnaa) dengan merasa puas. Istaghnaa sangat dibenci oleh para motivator modern, dan Al-Qur`an telah mengungkapkan buruknya istaghnaa ini sejak 1400 tahun lalu. Sedangkan qona’ah atau merasa ridho/puas dengan apa yang Allah berikan sangat disukai motivator modern, dan Nabi telah mengajarkan hal ini 14 abad yang lalu.

Diantara tokoh-tokoh yang istaghnaa yang diceritakan Al-Qur`an adalah Fir’aun, Qorun, dan Namrudz. Lihatlah bagaimana mereka menyombongkan diri mereka. Mereka merasa kaya, merasa cukup, merasa tidak membutuhkan Allah. Padahal kita ini adalah al-faqir ilallah, orang-orang yang butuh kepada Allah. Kepada Allah bergantung segala makhluq. Siapa yang telah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang kita makan? Siapa yang memberikan kita udara untuk kita hirup? Sebutkan trilyunan ni’mat yang kita rasakan. Maka semua keni’matan itu berasal dari Allah SWT.

Semoga allah menenangkan nafsu kita, membuatnya mudah merasa puas, qona’ah dan penuh kesyukuran kepada Allah SWT. Semoga dijadikan-Nya kita termasuk hamba-hamba-Nya yang sejati dan merengkuh surga dunia dan surga akhirat. Aamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Umat Yang Berdzikir

Ketahui, Pahami, Dapatkan

Shape of My Heart